Cerpen Al-Fian Dippahatang (Cerpen); Siulu’ku Lebonna, Nelce Paham Kepergianmu

Di desa Bua Kayu, masih terkesiur tempatku menyucikan cinta bersama siulu’ku. Iya, Lebonna adalah kakak kandungku yang marak dikisahkan di Toraja. Setiap waktu, di bawah pohon enau, aku setia mendengar londe—ratap menatap rambut Lebonna di liang batu. Masih terjulur walau pintu makamnya tertutup rapat. Tapi,

Lelaki yang amat dicintai Lebonna itulah yang memicu rambu solo. Aku amat terpukul. Hatiku teriris-iris karena kepergiannya. Tak ada lagi orang yang setia mendengar kisah cintaku. Kisah yang bebulu di mataku. Kisah yang sementara berbenah demi memeriahkan Tongkonan. Ambe dan Indo’ pun tak lagi bersamaku, jazadnya tak ditemukan di Papua karena pengaruh longsor yang menutup gua dari kedalaman yang cukup lantang. Menambang emas demi menyekolahkan anak-anaknya. Genap sudahlah derita hidupku. Tinggal aku sebatang kara dalam pedih—perih yang mungkin akan menghabisi nyawaku dengan airmata.

“Kau masih memiliki saya, Nelce,” Astin Tandiesak mencoba melipur hati sahabatnya itu. “Jangan sesali semua ini. Inilah takdir yang mesti ditempuh.” ujarnya kembali renyah merekah senyum.
Tak ada lagi yang berarti bisa kulakukan. Aku hanyut dari genangan waktu yang tak terbendung. Aku dikuasai takdir dan seakan takdirlah yang paling menutupi cintaku. Kepergian siulu’ku membuat semua sunyi berkerumun di kepalaku. Hanyalah mata yang menerjemah menjadi sebuah tangis.
“Sudahlah, Nelce. Ayo kita pulang, di sini tak baik. Hujan akan membasahi tubuhmu.” Musim hujan di Toraja sesak tiba menumpuk kesedihan.

Aku beruntung memiliki sahabat seperti Astin. Dari kecil aku memang senang bertandang ke rumahnya begitu sebaliknya. Suatu waktu, di usia kami yang masih senang berpetak umpet, aku dan Astin mencoba berjalan menyaksikan tedong bonga diadu di Rantepao. Aku lupa persis apa yang terjadi di tempat itu. Sebab, Astin menggiringku ke suatu tempat tak jauh dari pusat keramaian. Astin mengajakku ke Gereja yang di dalamnya hanya kami saja terduduk. Tiba-tiba saja, suara Astin liar menyusut di liang telingaku. Ia menyuruhku menunduk sembari memerintahkanku melakukan hal yang dilakukannya. Kedua tanganku saling merapal. Tak lama Astin menyuruhku menumpahkan kekalutan jiwaku. Rupanya ia berdoa dan serupa dengannya, aku pun berdoa. Saat itu aku mulai paham, sisi religi Astin telah tumbuh. Agar segala resah hilang menenang. Dan hingga saat ini, Astin kuanggap sebagai orang yang religius dan taat pada Tuhan Yesus. Sungguh, persahabatan yang indah berawal dari hal kecil. Dari ketulusan yang hadir karena hati yang merakit kepercayaan.
“Kau mesti percaya, bahwa kehidupan telah di atur oleh-Nya!” wajah Astin tenang dan auranya terlihat bening membalut hatiku.

Akhirnya aku pun mendengar ajakan Astin. Kubangkitkan tubuhku yang kurasa berat. Pelan, kukayuh langkahku. Walau, Siulu’ku Lebonna adalah sosok yang paham tentang kisahku. Tentang cinta yang masih kupertahankan dalam keadaan luka apapun. Derita yang gugur di letak bunga yang tak dirindukan. Bagiku, Astin juga pemberi kabar yang baik. Apakah cintaku ini tak berujung kesucian pada lelaki itu?

Dari jauh, suara Mirayanti Pakanda memekik telingaku. Wajah putihnya susut oleh amarah. Keningnya lusuh. Pipinya luruh. Tulunjuknya tepat mengarah di mataku. Dadaku getar melaju sekencangnya. Adakah ia mengetahui semuanya?

Aku menyiapkan diri sekeras batu mendengar sumpah serapahnya. Kata-kata kasar yang layang di otakku. Tersandung panas di dadaku. Apa daya, semua telah terungkap. Namun, ada baiknya semua ini memang harus diketahuinya. Seberapa besar pun ini terjaga. Akan menemu pintu yang mampu dirobohkan. Dan dalam kesedihanku yang larut ini. Tak bakal kuhapus semua yang kubangun dari awal aku berkenalan hingga titik di mana cintaku tahu bahwa ia telah memiliki dan dimiliki. Aku tak ragu, cintaku tak layu oleh angin macam apapun.

“Wanita sundal, kau perebut lelaki yang beristeri,” suara Mirayanti bergetar, tangannya menggertak di jidat Nelce. “Kau wajar ditinggal mati keluargamu, karena laku-lakumu, Nelce. Dasar!”
Aku henyak mendengar caci maki Mirayanti. Walau api di otakku telah berkobar melahap untuk melawannya. Namun, aku memilih tak bersuara. Astin menenangkanku dengan lembut dan gemulai. Rambutnya satu per satu beterbangan di wajahku. Ia menyuruhku pergi. Dan tak ada alasan lain selain langkahku berubah menjadi kecepatan seorang pelari dadakan. Hingga, ditelan riuhnya angin, suara Mirayanti masih berjejak. Berbekas sampai aku tiba di rumahku. Menepi dan meramu hal yang tak mungkin kulakukan sendiri. Kenapa kau begitu cepat pergisiulu’ku? Aku ikhlas Ambe dan Indo’ pergi, karena mereka juga tega menelantarkanku. Menganggapku seperti bukan anak yang dilahirinya. Selalu menindaskanku, dan dengan begitu siulu’ku Lebonna akan datang membujukku agar menyudahi tangisku yang terisak-isak. Ke mana kau Tedorus? Ke mana kau sisipkan cinta yang hati ini titipkan pada hatimu? Mengapa kau tak seperti Paerengan, lelaki yang amat dicintai siulu’ku? Di mana tanggungjawabmu yang sudah menindihku di Kambira, sekitar pohon tarra di malam purnama itu?

“Demi kesetiaanku padamu. Aku siap menanggung kebencian dari siapapun, Nelce!” Bayangan ucapan Tedorus murka. Kau bisik itu dulu padaku. Kini, seolah kau ingkari semuanya. Kau telan aluk to dolo yang kupegang di tanah Toraja ini. Tanah yang membuatku paham bahwa tradisi mesti dijaga. Cintaku padamu adalah utuhnya aku membangun semua kesakitan. Tapi, dalam keadaan seperti ini, di mana tanggungjawabmu sebagai lelaki?

“Nelce—” Astin menengahi semua kata yang terjaga. “Kau belum tahu, baru-baru ini, Tedorus membunuh Ambe-nya. Ia karam, melihat Ambe-nya menindih wanita yang konon adalah keluarganya dari tanah rantau. Jadi berhentilah berharap!”
Aku yakin Perangai Tedorus tak jauh dari kisah Paerengan dalam mencintai siulu’-ku Lebonna. Apapun yang dikatakan orang, aku tak bisa menghapus cinta itu dengan mudah jika bukan mata kepalaku melihat getahnya.

ilustrasi
tidak untuk ke puya. Apakah Lebonna tak rela meninggalkan Paerengan yang sedih tak menepati janji kekasihnya?

Catatan:
Siulu : Kakak
Londe : Dalam seni sastra Toraja adalah rintihan kesedihan
Puya : Surga
Rambu Solo : Upacara Kematian
Ambe : Ayah
Indo’ : Ibu
Tedong Bonga : Kerbau Belang
Tarra : Tempat penguburan anak kecil atau bayi
Aluk To Dolo : Kepercayaan animisme masyarakat Toraja

Al-Fian Dippahatang lahir di Bulukumba 03 Desember 1994. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin angkatan 2014 dan Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar angkatan 2012. Sejumlah karyanya pernah dimuat di koran. Ikut dalam antologi pemenang (Kumpulan Puisi: Jejak Sajak di Mahakam, 2013 Lanjong Art Festival) dan (Kumpulan Cerpen: Ground Zero, 2014 Diva Press). Bergiat di Sanggar Alam Serang Dakko, Komunitas Lamaruddani dan UKM Seni UNM. Bisa disapa di akun twitter-nya: @pentilmerah.
Previous
Next Post »
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...